Rabu, 03 November 2010

Potensi Lahan|Tanah Kosong Untuk Tempat Parkir

DI JAKARTA, mereka yang tinggal di rumah mewah memiliki car port yang luas, penghuni apartemen dilengkapi fasilitas gedung parkir. Bagaimana nasib penyewa kos-kosan sempit yang tidak dapat berpisah dengan mobil mereka?

Tanyakan pada Jakarta.

Jawabannya ada pada petak-petak tanah kosong dan sedikit kreativitas untuk melihat masalah sebagai peluang bisnis.

Kenyataan bahwa penduduk Jakarta hidup di kota dan negara yang sangat bergantung pada kendaraan pribadi, membuat orang tidak bisa menolak godaan untuk memiliki paling tidak satu unit mobil, lepas dari kenyataan bahwa sebelum itu mereka seharusnya memiliki ruang parkir mobil. Tapi, di Jakarta orang lebih dapat menerima kenyataan bahwa mereka tidak tinggal di rumah sendiri daripada harus hidup tanpa kendaraan pribadi yang bisa dibawa ke mana-mana. Logika ini tentunya berujung pada kerepotan mencari ruang yang cukup aman untuk mengistirahatkan mobil mereka di malam hari, atau saat sedang tidak mengarungi macetnya Jakarta.

Jumlah populasi pengguna mobil itu ternyata sudah cukup besar untuk menjadikan masalah tersebut sebagai peluang bisnis. Mereka, konsumen potensial ini, adalah penyewa kos-kosan atau rumah petak yang cukup lazim ditemukan di Jakarta, sebuah tempat tinggal sementara yang sangat jarang menyisakan ruang parkir bagi penyewa yang membawa mobil, karena setiap jengkal tanah tentunya berarti pemasukan pasif bulanan bagi pemiliknya, juga karena rumah kos atau rumah petak ini sering berada di dalam gang-gang sempit.

Di Jakarta, kota dengan 10 juta penghuni yang penuh kreativitas, itu bukan masalah.

Ada fenomena menarik yang timbul sebagai tanggapan dari permasalahan parkir. Beberapa lahan kosong di Kalibata dan Mampang (Jakarta Selatan), Palmerah (Jakarta Pusat), dan Kramat Jati (Jakarta Timur), pada malam hari disewakan bagi pemilik mobil.

Di Kalibata, sepetak lahan kosong seluas 1.500 meter persegi—yang tadinya hanya berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah sementara—menjadi lahan bisnis yang lebih menguntungkan setelah difungsikan menjadi tempat parkir sewa bulanan bagi populasi penyewa rumah petak yang tidak bisa lepas dari mobil pribadinya. Jika sebelumnya lahan itu penuh sampah dan lalat, sekarang dipenuhi 40-an mobil setiap malamnya. Beberapa dari penyewa tempat parkir itu malahan menitipkan lebih daripada satu mobil, kata seorang petugas dari manajemen pengelola lahan Yayasan Arisba.

Jika satu kamar kos atau rumah petak disewakan dengan harga berkisar antara Rp300.000,00 sampai Rp 600.000,00 sebulan, satu tempat parkir di lahan itu disewakan seharga Rp150.000,00 per bulan.

Lahan seluas 200 meter persegi di Pondok Jaya, Mampang, Jakarta Selatan juga memiliki cerita yang menarik soal solusi masalah lahan parkir. Bisnis yang satu ini berawal dari keputusan pemilik rumah di kompleks militer Pondok Jaya untuk membangun sederet kamar kos-kosan di halamannya yang luas. Kamar-kamar ini disewakan pada para pekerja yang memang datang dari luar Jakarta, serta mereka yang tidak tahan lagi harus bermacet-macet ke tempat kerja dari rumahnya di pinggiran kota.

Awalnya, pemilik kos-kosan hanya membangun sekitar selusin kamar sewa, menyisakan sekitar 200 meter persegi lahan yang masih kosong yang awalnya direncanakan untuk beberapa kamar baru lagi. Tapi saat para penyewa kamarnya datang dengan membawa mobil mereka, pensiunan ABRI SP Tambunan, si pemilik kos-kosan, berubah pikiran. Akhirnya, jadilah lahan sisa itu menjadi lahan parkir sewa dadakan dengan tarif Rp150.000,00 sampai Rp200.000,00 per bulannya, bergantung pada ukuran mobil. Kemanan terjamin, kata Tambunan. Lucunya, akhirnya penyewa lahan parkir itu tidak terbatas pada penyewa kamar kosnya. Seorang tetangga Tambunan yang memiliki usaha penyewaan mobil turut menitipkan “barang modal”-nya di lahan parkir itu. Sepertinya, pemilik penyewaan mobil itu lupa menyiapkan lahan untuk memarkir mobil-mobil sewaannya

Jika hanya sekadar masalah parkir, Jakarta punya solusinya, paling tidak untuk sementara.

Jika di Jepang para pemilik rumah tanpa lahan parkir mengumpulkan uang untuk membuka satu lahan bersama atau justru memilih sistem garasi hidrolik yang mahal, kota Jakarta punya solusi yang lebih murah, walau belum tentu berkelanjutan. Fenomena seperti ini memang tidak dapat dihindari di saat kita harus hidup di kota yang tidak terencana. Manusia-manusianya akan cenderung merespon secara impulsif sesuai dengan kebutuhan.

Jadi, saat timbul masalah tentang lahan parkir, jawabannya tergantung dari perspektif dan logika yang digunakan. Bisa kedengaran pesimistis, bisa juga sebaliknya. Di Jakarta, sering kali yang terjadi adalah yang terakhir, timbul solusi bisnis yang sebenarnya cukup kreatif dan responsif.

Tentunya inti dari permasalahan parkir tidak sesederhana itu.

Butuh waktu dan halaman yang lebih panjang lagi untuk membahas awal mula ketergantungan Jakarta dan Indonesia secara umum pada industri otomotif. Ketergantungan yang merupakan efek samping dari keputusan politis pemerintah untuk menjadikan Jepang negara pendonor terbesar bagi Indonesia. Singkat cerita, pada era 70-an, tingginya tingkat populasi serta rendahnya upah buruh di Indonesia, begitu memikat perusahaan-perusahaan otomotif negara tetangga. Kedua faktor itu saling melengkapi, baik sebagai alat produksi dan pasar yang tidak terbatas.

Sekarang ini, ada sekitar 4,5 juta kendaraan pribadi memenuhi jalanan ibu kota, ditambah lagi dengan sekitar 600.000 dari pinggiran Jakarta pada jam-jam kerja. Menurut statistik, setiap harinya kota ini menerima tambahan 269 kendaraan pribadi baru, tingkat penambahan yang naik secara signifikan dari angka 138 yang tercatat di tahun 2003. Sayangnya, solusi logis untuk kemacetan Jakarta berupa sistem transportasi massal yang layak, belum mulai dibangun sampai awal abad ke-21, lebih daripada tiga dekade setelah kelas menengah Jakarta menjadi begitu bergantung pada kendaraan pribadi. Kurangnya kemauan politis selalu disebut-sebut sebagai penyebab utama kekacauan transportasi di Jakarta, selain juga masalah pendanaan.

Pada celah inilah tercipta hubungan penduduk Jakarta dengan mobilnya.

Sebuah hubungan cinta dan benci. Mencintai mobil mereka dan membenci mobil orang lain sebagai penyebab kemacetan.

Kenyataannya, kepemilikan mobil pribadi jenis Kijang, misalnya, menjadi prioritas bagi orang-orang Jakarta yang mampu menyediakan uang muka Rp8 juta dan cicilan Rp1 juta per bulan. Punya atau tidak punya garasi untuk menaruh mobil, tidak menjadi masalah.

Seorang penyewa kamar kos di Pondok Jaya, Mampang, mengungkapkan bahwa dia hanya memakai mobilnya pada akhir minggu. Saat harus pergi ke tempat kerja, dia lebih memilih menggunakan sepeda motornya untuk mengarungi kemacetan. Tapi, daripada melepas mobilnya, dia lebih rela membayar lebih untuk menyewa lahan parkir di tempat kosnya itu.

Untuk mereka yang cukup lama tinggal di Jakarta dan sering menjelajah kota, pemandangan mobil berderet-deret di depan rumah sepanjang gang-gang sempit adalah hal yang lumrah. Ada rumah yang memang tidak menyisakan lagi lahan untuk garasi, tapi ada juga yang butuh ruang lebih untuk lebih dari satu mobil, dengan jalanan di depan rumah yang dianggap cukup aman untuk memarkir mobil tambahan.
Bagi warga Jakarta, kadang satu mobil tidaklah cukup.

Kasus terakhir ini adalah lingkaran setan.

Dulu sekali, satu keluarga di Jakarta hanya menggunakan satu mobil untuk mengantar ayah ke kantor, anak-anak ke sekolah dan ibu pergi berbelanja. Itu terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu. Sekarang, seorang ayah akan menyalahkan kemacetan saat dia tidak dapat datang ke kantor tepat waktu karena harus mengantar anaknya ke sekolah lewat jalan-jalan yang padat. Akhirnya si ayah membeli satu mobil lagi khusus untuk anaknya yang selain membuat hidupnya lebih efektif juga memakan badan jalan yang nyata-nyata sudah macet.

Yang mana sebab dan mana akibat?

Masalah ketergantungan pada kendaraan pribadi berlanjut ke masalah yang lebih besar, yaitu masalah lingkungan.

Biarkan para ahli membahas soal emisi karbon, kita akan tetap pada masalah parkir mobil.

Jika kita melihat brosur penawaran rumah baru, masih ada sepetak tanah kosong untuk taman tergambar di sebelah car port. Perhatikan rumah tersebut lima tahun setelah dibeli oleh pemilik barunya, yang ada hanya halaman depan yang disemen atau dibeton sepenuhnya.

Ke mana perginya petak hijau di sebelahnya tadi?

Sepertinya ditelan kebutuhan ruang ekstra untuk memarkir lebih daripada satu mobil.

Hal itu mungkin tampak sepele, paling hanya 10 meter persegi tanah yang tadinya berumput lalu terpaksa disemen. Tapi, tanah yang kecil itu bisa menyerap air hujan, sementara petak yang disemen tidak bisa. Tentu ada penjelasan logis atas aturan koefisien dasar bangunan (KDB) sebelum ditetapkan menjadi aturan yang mengikat secara hukum—yang paling logis dan sederhana adalah “biarkan sebagian lahan Anda cukup berpori untuk menyerap air hujan.” Tapi, tampaknya logika sederhana seperti itu tidak berlaku di kota yang penduduknya tidak pernah merasa cukup hidup dengan satu mobil.

Menurut sebuah studi dari Universitas Indonesia, suatu kaveling dengan KDB 20 persen akan kehilangan kemampuannya menyerap dan menyimpan air hujan jika tiba-tiba KDB-nya dinaikan menjadi 60 persen.

Sadar atau tidak, kita, para pemilik mobil, turut berpartisipasi dalam menyukseskan tenggelamnya Jakarta Februari lalu.

Walau solusi lahan parkir sewa seperti di Mampang dan Kalibata kelihatannya cukup kreatif, namun jika logika yang sama diterapkan di sana, akan membawa dampak ekologis lebih lanjut. Lahan parkir di Mampang yang sebelumnya berkontur dengan halaman berumput dan berpohon itu misalnya, telah disemen oleh pemiliknya. Hal ini masuk akal secara bisnis. “Kalau diratakan dan disemen kan lebih banyak mobil yang bisa parkir,” kata pemiliknya. Tapi, tentunya secara ekologis menjadi tidak masuk akal membiarkan air hujan tidak terserap lagi, kecuali kalau kita memang mau kebanjiran.

Tampaknya masalah lahan parkir bukan sekadar masalah ketersediaan ruang.

Lebih jauh lagi, ini menyangkut masalah perilaku sosial, menjadi egois secara kolektif, dan masalah sadar lingkungan.




Jakarta, April 2007




ANISSA S. FEBRINA lahir di Jakarta, 27 Februari 1980. Lulusan Jurusan Arsitektur, Universitas Indonesia ini, pernah mencoba bekerja selama tiga bulan di sebuah biro arsitek di Jakarta, sebelum akhirnya berhenti dari pekerjaan yang membuatnya menjadi jarang bisa bersentuhan dengan hal-hal yang menjadi perhatiannya: kota dan penghuninya. Saat ini, ia menjadi wartawan harian The Jakarta Post, menghabiskan waktu berkeliling kota, menulis berbagai hal tentang Jakarta dan orang-orang di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar